FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI FEKAL

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI

Banyak faktor yang mempengaruhi proses eliminasi fekal. Pengetahuan tentang faktor-faktor ini memungkinkan perawat melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan untuk mempertahankan pola eliminasi normal.
1. Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan yang memepengaruhi  status eliminasi terjadi di sepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresikan enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Makanan melewati sakuran pencernaan dengan cepat karena gerakan peristaltic berlangsung dengan cepat. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karena kurangnya perkembangan neuromusukular. Perkembangan biasanya tidak terjadi sampai usia 2-3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat, khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengonsumsi makanan dalam jumlah lebih besar.
Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa perubahan sering pada saluran GI, yang berlangsung seiring dengan proses. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki  sakuran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proses penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim lipase. Lansia yang dirawat di rumah sakit terutama berisiko mengalami perubahan fungsi usus. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa terdapat 91% insiden diare atau konstipasi dalam populasi lansia yang berjumlah 33 orang, yang di rawat di rumah sakit, dengan usia rata-rata 76 tahun (Ross, 1990).
Selain itu, gerakan peristaltic menurun seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya pengosongan esofagus. Pengosongan esofagus yang melambat dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di bagian epgester abdomen. Materi pengabsorpsi pada mukosa usus berubah menyebabkan protein, vitamin dan mineral berkurang.  Lansia juga kehilangan tonus otot pada otot dasar perineum dan sfingter anus. Walaupun integritas sfingter eksterna tetap utuh, lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol pengeluaran fese. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhanya untuk berdefekasi akibat melambatnya impuls saraf sehingga mereka cenderung mengalami konstipasi.
2. Diet
Asupan makanana seriap hari secara teratur membantu memoertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serta, residu makanan yang tidak dpat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa fese. Dinding usus tergang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makan berserat sambil sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan fese tetap lunak. Makanan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi ( masa) :
a)      Buah-buahan mentah (apel, jeruk)
b)      Buah-buahan yang diolah (prum, apricot)
c)      Sayur-sayuran (bayam, kangkung, kubis)
d)     Sayur-sayuran mentah (seledri, mentimun)
e)      Gandum utuh ( sereal, roti)
Mengonsumsi makanan tinggu serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola elominasi jika faktor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi, meningkatkan motilitas kolon.beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic, tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan  tidak berlangsung dan fese menjadi encer.
Beberapa makanan, seperti susus dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makanan tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dan kram .
3. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang meyebabkan kehilangan cairan( seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yagng menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6-8 gelas ( 1400-2000 ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak fese dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.
4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meningkatkan peristaltic, sementara imobilitas menekan motilitas kolon. Ambukasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankanya eliminasi normal. Upaya mempertahankan tonus otot rangka,yang digunakan selama poses defeasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan indivuidu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang belangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.
5.    Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal mempuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis. Namun, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut.
Faktor yang meningkatkan Eliminasi
a)      Lingkungan yang bebas stress
b)      Kemampuan untuk mengikuti pola defekasi pribadi, privasi
c)      Diet tinggi serat
d)     Asupan cairan normal (jus buah, cairan hangat)
e)      Olahraga ( berjalan)
f)       Kemampuan untuk mengambil posisi jongkok
g)      Diberikan laksatif dan katartik secara tepat
Faktor yang merusak Eliminasi
a)      Stress emosional ( ansietas atau depresi)
b)      Gagal mencetuskan reflex defekasi, kurang waktu atau kurang privasi
c)      Diet tinggi lemak, tinggi karbohidrat
d)     Asupan cairan berkurang
e)      Imobilitas atau tidak aktif
f)       Tidak mampu jongkok akibat imobililtas, usia lanjut, deformitas musculoskeletal, nyeri dan  nyeri selama defekasi
g)      Penggunan analgesic narkotik, antibiotic dan anesthesia umum, serta penggunaan katartik yang berlebihan
6.      Kebiasaan Pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi di kamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan dapat mengakibatkan perubahan,seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah refleks yang paling mudah distimulus untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
Klien yang dirawat di rumah sakit jarang dapat mempertahankan privasi saat melakukan defekasi. Fasilitas kamar mandi sering kali digunakan bersama – sama dengan teman sekamarnya, yang kebiasaan higienenya mungkin cukup berbeda. Penyakit yang diderita klien sering membatasi aktivitas fisiknya dan ia membutuhkan pispot atau commode yang ditempatkan disamping tempat tidurnya. Pemandangan , suara, dan bau yang dihubungkan dengan kondisi tempat fasilitas toilet digunakan bersama – sama atau saat menggunakan pispot sering menimbulkan rasa malu. Rasa malu sering membuat klien mengabaikan kebutuhannya untuk berdefekasi, yang dapat memulai siklus rasa tidak nyaman yang hebat.
7.      Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak kearah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengkontraksi otot – otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti arthritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk toilet yang rendah. Alat untuk meninggikan tempat duduk toilet memampukan klien untuk bangun dari posisi duduk ditoilet tanpa bantuan. Klien yang menggunakkan alat tersebut dan individu yang berpostur pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekuk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi ditempat tidur, defekasi sering kali dirasakan sulit. Posisi terlentang tidak memungkinkan klien mengkontraksi otot – otot yang digunakan selam defekasi. Membantu klien keposisi duduk yang lebih normal pada pispot akan meningkatkan kemampuan defekasi.
8.      Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasuk hemoroid, bedah rectum, fistula rectum , bedah abdomen dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi – kondisi seperti ini, klien seringkali mensupresi keinginannya untuk berdefekasi guna menghindari rasaa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.
9.      Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obstruksi sementara akibat keberadaan fetus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamil sering mengedan selama defekasi dapat menyebabkan terbentuknya hemoroid yang permanen.
10.  Pembedahan dan Anestesi        
Agens anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang dihirup menghambat implus saraf parasimpatis keotot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gerakan peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi Karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikit atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat tehambat lebih lanjut.
11.  Obat – obatan
Obat – obatan dapat untuk meningkatkan defekasi telah tersedia. Laksatif dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan gerakan peristaltic. Walaupun sama, kerja laktasif lebih ringan daripada katartik. Apabila digunakan dengan benar, laksatif dan katartik mempertahankan pola eliminasi normal dengan aman. Namun, penggunaan katartik dalam jangka waktu lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulus yang diberikan oleh laksatif. Penggunaan laksatif yang berlebihan juga dapat menyebabkan diare beratyang dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral, sebuah laksatif umum, menurunkan absorbsi vitamin yang larut dalam lemak. Laksatif dapat mempengaruhi kemanjuran kerja obat lain dengan mengubah waktu transit( mis : waktu obat berada di dalam saluran GI ).
Obat – obatan, seperti disiklomin HCL ( Bentyl ) menekan gerakan peristaltik dan mengobati diare. Beberapa obat memeiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya menyebabkan konstipasi. Obat – obatan antikolinergic, seperti atropine atau glikopirolat ( Robinul ), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walaupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinergic dapat menyebabkan konstipasi. Banyak antibiotic menyebabkan diare dengan mengganggu florabakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait denagn diare semakin parah, obat – obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan yang dapat digunakan.
12.  Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi di bagian usus. Klien tidak di izinkan untuk makan atau minim setelah tengah malam jika esoknya akan di lakukan pemeriksaan., seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI di bagian bawah, atau serangkaian pemeriksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya menerima katartik dan enema. Pengososngan usus dapat menggangu eliminasi sampai klien dapat makan  dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium mengeras jika di biarkan di dalam saluran GI.. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur di lakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium setelah prosedur di lakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalm mengevakuasi semua bariun, Mungkin usus klien perlu di  bersihkandengan menggunakan enema

KALENDER

DIAN HUSADA

Diberdayakan oleh Blogger.

RS DIAN HUSADA

WORDPRESS

MP3

Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info