- Beranda
- ANFIS SISTEM PENCERNAAN
- PROSES TERJADINYA DEFEKASI
- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI FEKAL
- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI FEKAL
- ASKEP ELIMINASI FEKAL
- PROSEDUR MEMBANTU BAB HUKNAH/ANEMA
- PROSEDUR PERAWATAN STOMA
- ASKEP GANGGUAN PERSEPSI SENSORI
- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STIMULASI SENSORI
- KONSEP OBAT
- CARA MEYIAPKAN DAN PEMBERIAN OBAT
- FOTO
- VIDEO
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI FEKAL
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI
Banyak faktor yang mempengaruhi proses
eliminasi fekal. Pengetahuan tentang faktor-faktor ini memungkinkan perawat
melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan untuk mempertahankan pola
eliminasi normal.
1.
Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan
yang memepengaruhi status eliminasi
terjadi di sepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan
lebih sedikit menyekresikan enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat
yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Makanan melewati sakuran pencernaan
dengan cepat karena gerakan peristaltic berlangsung dengan cepat. Bayi tidak
mampu mengontrol defekasi karena kurangnya perkembangan neuromusukular.
Perkembangan biasanya tidak terjadi sampai usia 2-3 tahun. Pertumbuhan usus
besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat, khususnya
pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengonsumsi makanan dalam jumlah
lebih besar.
Sistem GI pada lansia sering mengalami
perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa perubahan
sering pada saluran GI, yang berlangsung seiring dengan proses. Beberapa lansia
mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan
dengan baik. Makanan yang memasuki
sakuran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena
jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring
dengan proses penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung
lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim lipase. Lansia yang dirawat di
rumah sakit terutama berisiko mengalami perubahan fungsi usus. Dalam suatu
penelitian ditemukan bahwa terdapat 91% insiden diare atau konstipasi dalam
populasi lansia yang berjumlah 33 orang, yang di rawat di rumah sakit, dengan
usia rata-rata 76 tahun (Ross, 1990).
Selain itu, gerakan peristaltic menurun
seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya pengosongan esofagus.
Pengosongan esofagus yang melambat dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di
bagian epgester abdomen. Materi pengabsorpsi pada mukosa usus berubah menyebabkan
protein, vitamin dan mineral berkurang.
Lansia juga kehilangan tonus otot pada otot dasar perineum dan sfingter
anus. Walaupun integritas sfingter eksterna tetap utuh, lansia mungkin
mengalami kesulitan dalam mengontrol pengeluaran fese. Beberapa lansia kurang
menyadari kebutuhanya untuk berdefekasi akibat melambatnya impuls saraf
sehingga mereka cenderung mengalami konstipasi.
2. Diet
Asupan makanana seriap hari secara
teratur membantu memoertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon.
Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serta, residu makanan
yang tidak dpat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses.
Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa fese.
Dinding usus tergang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex
defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makan
berserat sambil sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi
peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan
fese tetap lunak. Makanan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi
( masa) :
a) Buah-buahan
mentah (apel, jeruk)
b) Buah-buahan
yang diolah (prum, apricot)
c) Sayur-sayuran
(bayam, kangkung, kubis)
d) Sayur-sayuran
mentah (seledri, mentimun)
e) Gandum
utuh ( sereal, roti)
Mengonsumsi makanan tinggu serat
meningkatkan kemungkinan normalnya pola elominasi jika faktor lain juga normal.
Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga
menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi,
meningkatkan motilitas kolon.beberapa makanan pedas dapat meningkatkan
peristaltic, tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan fese menjadi encer.
Beberapa makanan, seperti susus dan
produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu.
Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat
sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim
lactase. Intoleransi terhadap makanan tertentu dapat mengakibatkan diare,
distensi gas, dan kram .
3. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau
gangguan yang meyebabkan kehilangan cairan( seperti muntah) mempengaruhi
karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui
kolon. Asupan cairan yagng menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui
usus. Orang dewasa harus minum 6-8 gelas ( 1400-2000 ml) cairan setiap hari.
Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak fese dan meningkatkan
peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic
pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.
4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meningkatkan
peristaltic, sementara imobilitas menekan motilitas kolon. Ambukasi dini setelah
klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankanya
eliminasi normal. Upaya mempertahankan tonus otot rangka,yang digunakan selama
poses defeasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul
dan abdomen merusak kemampuan indivuidu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen
dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang
akibat penyakit yang belangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit
neurologis yang merusak transmisi saraf.
5.
Faktor
Psikologis
Fungsi dari
hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang
lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul
respons stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan
nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan
dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat
antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, sistem
saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah
penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi
colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian berulang
yang dilakukan sejak lama telah gagal mempuktikan mitos bahwa penyebab klien
mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis.
Namun, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik
tersebut.
Faktor yang
meningkatkan Eliminasi
a) Lingkungan
yang bebas stress
b) Kemampuan
untuk mengikuti pola defekasi pribadi, privasi
c) Diet
tinggi serat
d) Asupan
cairan normal (jus buah, cairan hangat)
e) Olahraga
( berjalan)
f) Kemampuan
untuk mengambil posisi jongkok
g) Diberikan
laksatif dan katartik secara tepat
Faktor yang merusak
Eliminasi
a) Stress
emosional ( ansietas atau depresi)
b) Gagal
mencetuskan reflex defekasi, kurang waktu atau kurang privasi
c) Diet
tinggi lemak, tinggi karbohidrat
d) Asupan
cairan berkurang
e) Imobilitas
atau tidak aktif
f) Tidak
mampu jongkok akibat imobililtas, usia lanjut, deformitas musculoskeletal,
nyeri dan nyeri selama defekasi
g) Penggunan
analgesic narkotik, antibiotic dan anesthesia umum, serta penggunaan katartik
yang berlebihan
6.
Kebiasaan
Pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi
usus. Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi di kamar mandi
mereka sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka.
Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan dapat mengakibatkan
perubahan,seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk
melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah refleks yang paling mudah
distimulus untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
Klien
yang dirawat di rumah sakit jarang dapat mempertahankan privasi saat melakukan
defekasi. Fasilitas kamar mandi sering kali digunakan bersama – sama dengan
teman sekamarnya, yang kebiasaan higienenya mungkin cukup berbeda. Penyakit
yang diderita klien sering membatasi aktivitas fisiknya dan ia membutuhkan
pispot atau commode yang ditempatkan disamping tempat tidurnya. Pemandangan ,
suara, dan bau yang dihubungkan dengan kondisi tempat fasilitas toilet
digunakan bersama – sama atau saat menggunakan pispot sering menimbulkan rasa
malu. Rasa malu sering membuat klien mengabaikan kebutuhannya untuk
berdefekasi, yang dapat memulai siklus rasa tidak nyaman yang hebat.
7.
Posisi
Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang
normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi
posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak kearah depan,
mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengkontraksi otot – otot pahanya. Namun,
klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti arthritis,
mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk toilet yang rendah. Alat untuk
meninggikan tempat duduk toilet memampukan klien untuk bangun dari posisi duduk
ditoilet tanpa bantuan. Klien yang menggunakkan alat tersebut dan individu yang
berpostur pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekuk
pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi ditempat tidur,
defekasi sering kali dirasakan sulit. Posisi terlentang tidak memungkinkan
klien mengkontraksi otot – otot yang digunakan selam defekasi. Membantu klien
keposisi duduk yang lebih normal pada pispot akan meningkatkan kemampuan
defekasi.
8.
Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak
menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasuk hemoroid, bedah
rectum, fistula rectum , bedah abdomen dan melahirkan anak dapat menimbulkan
rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi – kondisi seperti ini, klien
seringkali mensupresi keinginannya untuk berdefekasi guna menghindari rasaa
nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien
yang merasa nyeri selama defekasi.
9.
Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia
kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obstruksi sementara
akibat keberadaan fetus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah
umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamil sering mengedan selama
defekasi dapat menyebabkan terbentuknya hemoroid yang permanen.
10. Pembedahan dan Anestesi
Agens anestesi yang digunakan selama proses
pembedahan, membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens
anestesi yang dihirup menghambat implus saraf parasimpatis keotot usus. Kerja
anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gerakan peristaltic. Klien
yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami
perubahan eliminasi Karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikit atau bahkan
tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara
langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut
ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila
klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya
fungsi normal usus dapat tehambat lebih lanjut.
11. Obat – obatan
Obat – obatan dapat untuk meningkatkan
defekasi telah tersedia. Laksatif dan katartik melunakkan feses dan
meningkatkan gerakan peristaltic. Walaupun sama, kerja laktasif lebih ringan
daripada katartik. Apabila digunakan dengan benar, laksatif dan katartik
mempertahankan pola eliminasi normal dengan aman. Namun, penggunaan katartik dalam
jangka waktu lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi
kurang responsive terhadap stimulus yang diberikan oleh laksatif. Penggunaan
laksatif yang berlebihan juga dapat menyebabkan diare beratyang dapat
menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral, sebuah
laksatif umum, menurunkan absorbsi vitamin yang larut dalam lemak. Laksatif
dapat mempengaruhi kemanjuran kerja obat lain dengan mengubah waktu transit(
mis : waktu obat berada di dalam saluran GI ).
Obat – obatan, seperti disiklomin HCL (
Bentyl ) menekan gerakan peristaltik dan mengobati diare. Beberapa obat
memeiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik
menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya menyebabkan konstipasi. Obat –
obatan antikolinergic, seperti atropine atau glikopirolat ( Robinul ),
menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walaupun
bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens
antikolinergic dapat menyebabkan konstipasi. Banyak antibiotic menyebabkan
diare dengan mengganggu florabakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare
dan kram abdomen yang terkait denagn diare semakin parah, obat – obatan yang
diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan yang dapat
digunakan.
12. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic, yang melibatkan
visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi di bagian
usus. Klien tidak di izinkan untuk makan atau minim setelah tengah malam jika esoknya
akan di lakukan pemeriksaan., seperti pemeriksaan yang menggunakan barium
enema, endoskopi saluran GI di bagian bawah, atau serangkaian pemeriksaan
saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi,
klien biasanya menerima katartik dan enema. Pengososngan usus dapat menggangu
eliminasi sampai klien dapat makan
dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium
menimbulkan masalah tambahan. Barium mengeras jika di biarkan di dalam saluran
GI.. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien
harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur di
lakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium setelah
prosedur di lakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalm mengevakuasi semua
bariun, Mungkin usus klien perlu di
bersihkandengan menggunakan enema
02.23 | | 0 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)
KALENDER
Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Saya
MP3
free music at divine-music.info